"Buruh lebih penting dari modal dan harus
Siang itu, seorang teman menghubungiku melalui sambungan telepon via WhatsApp. Kebetulan, dia adalah pengawas lapangan di salah satu perusahaan perkebunan karet dan kelapa sawit yang berdekatan dengan wilayah Kualatanjung, Batubara.
To the point, ia langsung curhat. Bukan masalah pribadi, melainkan tentang persoalan sosial ditengah-tengah lingkungan kerjanya.
Banyak hal yang ia ceritakan. Tapi umumnya adalah seputar problematika para buruh di perusahaan tempatnya mengais rejeki saat ini. Intinya, kata dia, kesejahteraan buruh disana tidak terpenuhi. Gaji tak dibayarkan sesuai upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Begitu pula dengan jaminan kesehatan, semisal BPJS Kesehatan, yang tidak lagi ditunaikan.
"Kangkung genjer-kangkung genjer" istilah orang-orang di warung kopi. Akhirnya, sampai pada kesimpulan: para buruh disana butuh sebentuk perhatian agar suaranya didengar.
"Bantu-bantu lah bang, mana tau ada kenalan orang di Disnaker" katanya kepadaku menyebut-nyebut nama instansi pemerintahan di daerah yang semestinya dapat melindungi hak-hak mereka. Aku menyambut tawaran itu dengan senyum; apalah awak ini.
Memang, persoalan pelik yang menyangkut dengan kesejahteraan masyarakat buruh semacam ini patut untuk ditindaklanjuti oleh Dinas Tenaga Kerja setempat. Namun ada kendala. Aku tak punya 'orang dalam' di dinas penting itu. Dengan segala keterbatasan yang ada, kira-kira harus ku mulai dari mana?
Sepintas, aku berpikir untuk meminta bantuan tim jurnalis guna mengangkat ke media massa persoalan buruh yang disampaikan tersebut. Semisal dengan melakukan ekspos terkait fakta yang terjadi dilapangan. Dari informasi-informasi itu nantinya, diharapkan dapat menggerakkan hati para pemangku kepentingan urun-rembuk memberikan solusi nan efektif.
Cek Fakta Di Lapangan
Ternyata gayung bersambut. Beberapa hari kemudian, tepatnya Minggu, 19 Maret 2023, sekira pukul satu siang, saya bersama seorang rekan jurnalis, bergegas ke perusahaan perkebunan tersebut.
Untuk sampai di kompleks perkebunan, kami harus melewati hutan karet dan jalanan licin berlubang dibeberapa titik. Agaknya, jalanan itu baru diguyur hujan malam tadi.
Ada satu pemandangan yang cukup miris di sana. Pokok-pokok rambung nampak minim perawatan. Daunnya berguguran, ranting-rantingnya mengering layaknya hutan mati. Begitu pun, getah karetnya masih terus disadap.
Melihat kondisi itu, tiba-tiba saja saya teringat cuplikan dari serial kartun. Dimana seekor kepiting bernama Mr. Crabs melakukan eksploitasi terhadap ubur-ubur untuk dijadikan jelly. Tapi, ya, sudahlah. Tak ada hubungannya. Mungkin hanya sekedar memori jangka panjang yang mencuat tiba-tiba.
Setelahnya, kami mendapati portal yang dijaga seorang petugas. Untungnya, tak ada tanda-tanda maupun isyarat yang kesannya akan membatasi kami untuk masuk. Dengan cepat, kami pun bergegas untuk menemui salah seorang pekerja yang tinggal disana.
Rahasia Perusahaan
Sampai sudah kami di kompleks perumahan buruh perkebunan. Orang-orang di sana biasa menyebut area itu dengan sebutan pondok. Yang tinggal disana, rupa-rupanya tak hanya kalangan pekerja aktif saja. Malahan, sebagian besar diisi oleh para pensiunan karyawan yang dulunya pernah mengabdi disitu.
Kami menemui Pak Mul. Sebut saja begitu. Sebab dia enggan untuk mempublikasikan identitasnya. Alasannya, klasik. Takut kalau seandainya ada intimidasi dari pihak perusahaan, seandainya dia ketahuan membeberkan 'rahasia perusahaan'. Hal terburuk yang akan terjadi, bisa saja, ia dan istrinya harus dipaksa angkat kaki dari sana.
Ia menceritakan banyak hal. Mulai dari kenangan dirinya selama tinggal di kawasan perkebunan, hingga cerita tragis tentang buruh pemanen yang kini hanya dibayar sekira 20-30 ribu rupiah perhari. Jumlah itu, menurut dia, amat jauh beda dengan upah yang diterimanya saat masih menjadi karyawan di sana.
"Kalau jaman saya dulu, kan, karyawan. Gajinya UMK, BPJS nya pun ada. Kalau sekarang, udah BHL (Buruh Harian Lepas) paling sehari cuma bergaji dua puluh sampai tiga puluh (ribu)" sebut Pak Mul.
Usai bertukar informasi dengan Pak Mul, kami pun menjumpai salah seorang buruh pemanen yang sampai saat ini masih aktif bekerja disana. Ia membenarkan perkataan Pak Mul soal upah yang diterimanya dalam sehari.
Sayangnya, lagi-lagi narasumber yang satu ini pun tak ingin namanya dipublikasikan. Entah hal mengerikan macam apa yang sudah pernah terjadi disana, sehingga perusahaan seolah jadi momok yang menakutkan.
"Kebun (perusahaan) sanggupnya bayar sekian. Kalau mau kerja, kerja. Nggak mau, ya udah. Tinggal ditumbangkan aja kebun ini. Nanti tinggal bilang, di replanting" ucap salah seorang buruh pemanen, seolah meniru gaya bicara atasannya.
Untuk informasi yang lebih mendetail, ia menyarankan agar kami menjumpai seseorang yang kerap dipanggil Nano. Orang-orang biasa menyebutnya 'asisten'. Dia pun memberi kami petunjuk jalan menuju tempat tinggal Nano. Sayangnya, saat kami sambangi kediamannya, sang asisten pun tak berada dirumah.
Ya, Kami Salah
Agar perjalanan tak terkesan sia-sia, kami terus berupaya mendapatkan akses untuk dapat berkomunikasi dengan Nano. Hingga akhirnya seorang petugas keamanan di sana memberi kami nomor telepon Nano. Tak tunggu berlama-lama, kami pun langsung mencoba menghubunginya.
Saat berbincang melalui sambungan telepon, orang yang disebut-sebut sebagai asisten itu tak membantah sedikitpun mengenai persoalan upah buruh yang dibayarkan oleh perusahaan. Begitupula dengan jaminan kesehatan yang katanya belum juga mendapat respon positif dari pihak direksi perusahaan. Walaupun, ia mengaku, hal itu telah diusulkannya sejak lama.
"Kalau soal itu (upah dan jaminan kesehatan), iya memang kami salah. Tapi itu udah lama kita ajukan ke direksi. Cuma, direksi, kan, jarang kemari bang. Kadang bisa sebulan sekali baru kemari" ujar Nano.
Saat disinggung mengenai posisi jabatannya di perkebunan, Nano membantah kalau dirinya asisten. Tanpa keterangan yang lebih jelas, ia hanya mengaku ditugaskan oleh pihak perusahaan sebagai orang lapangan. Tapi, ya sudah. Informasi itu rasanya sudah cukup untuk dijadikan poin penutup pada hari ini.
Dari beberapa fakta yang kami terima, sayangnya, tak ada satupun diantara buruh-buruh itu yang berani melaporkan persoalan ini. Mereka mengaku ketakutan. Takut kalau nantinya pihak perkebunan melakukan pemecatan sepihak dan mereka terpaksa harus kehilangan mata pencahariannya. Miris, memang.
Agaknya, secuil kisah mengenai nasib buruh perkebunan di Batubara boleh jadi merupakan potret kelompok itu di Indonesia. Masih ada praktik kerja terkesan nan eksploitatif.
Upah dibawah UMK, tidak ada tunjangan, beban kerja yang berat, jaminan sosial yang tidak memadai. Hingga saat tulisan ini diterbitkan, masih belum ada titik terang dari persoalan ini. Solusi cepat dan tepat, tentulah diharap***f.arrazie
