Beliau mempunyai dua makam, satu di Indonesia yang lain di Tanjung Pengharapan. Dengan ilmu agama yang dimilikinya, ia juga sangat dihormati pada banyak negeri: Makassar, Banten, Sri Lanka, hingga Cape Town pada belahan Selatan Afrika. Negeri Banten, bahkan ulama itu diangkat menjadi menantu oleh sang sultan.
Tapi lain halnya bagi Belanda ia bak momok yang menakutkan. Anda mau tau siapa dia? Ialah Syekh Yusuf Al maqashari.
Dimulai Dari Belajar Agama
Nama lengkapnya Asy Syekh Al Hajji Yusuf Abdul Mahasin, Hadiyatullah Taju’l khalwati, Al Maqashari. Ia dilahirkan dari keluarga Kerajaan Goa dan Tallo. Yang disebutkan di sebuah buku Hamka, kerajaan itu di Islamkan 23 tahun sebelum Syekh Yusuf lahir, oleh tiga orang guru yang berasal dari Minangkabau yang disebut dengan Datu. Sebut saja, Datu Tiro, Datu Patimang dan Datu Ri bandang.
Sedari kecil Syekh Yusuf sudah diajarkan hidup secara Islam. Membaca Al-Qur’an sampai khatam hingga belajar beberapa ilmu Bahasa Arab sudah menjadi kebiasaannya setiap hari, dan itu pula yang membuatnya tertuju pada tasawuf.
Merantau Ke Banten
Syekh Yusuf memperluas ilmu dan pengetahuannya. Demi kebaikan Kerajaan Goa kedepan, ia menemui beberapa ulama-ulama besar untuk dimintakan belajar mendalami ilmu tasawuf sekaligus menunaikan rukun Islam yang ke-lima. Ia sempat singgah ke Negeri Bantam yang sekarang dikenal sebagai Banten.
Karena ilmu pengetahuannya, ia pun disegani hingga bersahabat dengan putra mahkota. Sultan Ageng Tirtayasa, namanya kelak setelah diangkat menjadi sultan.
Tak hanya Negeri Bantam, dirinya yang haus akan ilmu itu juga menyinggahi Aceh dan Yaman. Kemudian menunaikan haji di Mekkah. Ia juga sampai ke Negeri Syam. Di sanalah beliau mendapatkan gelar Taju’l khalwati Hadiyatullah yang diberikan langsung oleh gurunya.
Beliau akhirnya pulang karena merasa tujuannya sudah berjalan baik. Sepulangnya, malah mendapati tanah kelahiran yang teramat miris. Masyarakat kini kian tergoda dan berkebiasaan berbuat maksiat. Kala itu, Belanda yang mulai menancapkan pengaruh di Makassar.
Belakangan, Syekh Yusuf meminta izin kepada rajanya merantau ke Bantam. Tak lama setelah mendidik beberapa murid di sana ia pun berangkat.
Namun, sebelum ia pergi meninggalkan Makassar, sempatlah dirinya menemui dan meminta raja agar perbuatan maksiat yang marak di masyarakat itu dihentikan. Tapi, balasan yang ia dapat membuatnya marah."Inilah pangkal kejatuhan Goa! Goa akan hancur pecah berderai laksana perkapuran ini." kata Syekh Yusuf sembari melempar tempat kapur sirih ke lantai hingga hancur.
Ketika di Bantam ia menemui sahabatnya; sang sultan yang telah menaiki tahta. Teramat sayang dan hormatnya Sultan Bantam kepada beliau. karena ia juga tertarik dengan ilmu tasawuf hingga ulama besar itu pun diangkat menjadi menantu olehnya.
Setelah lama di sana dan ikut serta dalam politik dan agama, dirinya ingin Negeri Bantam menjadi kerajaan yang besar pula.
Ketika putra mahkota menjadi Sultan Muda, raja memerintahkannya untuk bersuluk, mendalami dan memperluas pandangannya terhadap agama.
Setahun lebih sultan itu pergi dan sudah kembali, Namun musnah harapan. Ia mendurhaka kepada ayahnya sendiri sebab lebih mendukung Belanda dari pada ayahnya. Hingga menimbulkan peperangan, sang ayah pun menyerahkan diri kepada putranya bersama dengan Syekh Yusuf dan kemudian diasingkan di Jakarta sebelum ia wafat.
Diasingkan Belanda Hingga Ke Tanjung Pengharapan
Berbeda halnya dengan Syekh Yusuf. Belanda merasa ulama nan sufi itu, adalah sumber dari masalah, yang membuat dirinya diasingkan jauh di Ceylon (Sri Lanka)
Diasingkan bukan berarti akan menghentikan perjalanan hidupnya. Di sana ia tetap mengajar murid-murid yang sama terbuangnya dengan beliau, membuat karangan risalah-risalah, hingga ia dilindungi langsung oleh Raja Besar India. Kaisar Aurangzeb Alamgir memperingati Belanda agar kehormatan Syekh Yusuf dijaga, karena dia juga gelisah jika beliau terganggu dan terhina.
Belanda pun semakin geram sebab ulahnya yang kian hari kian bertambah harum namanya. Syekh Yusuf yang kala itu berumur 68 tahun kembali diasingkan ke negeri yang lebih jauh: Cape Town, Afrika Selatan.
Tak banyak yang bisa ia lakukan saat di Tanjung Pengharapan. Syekh Yusuf kembali mendidik beberapa murid dan menaruh harapan, kelak mereka akan menggantikannya.
Diusianya 73 tahun tepatnya lima tahun keberadaannya di Cape Town, Syekh Yusuf Al Maqashari itu di panggil Ilahi. Kabar kemangkatannya pun sudah sampai di Makassar, Bantam dan Ceylon. Raja Goa pun meminta agar jenazahnya dikuburkan secara layak di Makassar. Permintaan itu pun disetujui dengan terpaksa oleh Belanda.
Tepat hari Jumat 23 Mei 1703 di Jongaya, jenazah beliau tiba. Dengan makam yang teramat besar bak Masjid yang berdiri kokoh sampai sekarang. Terbesit di pikiran, makam siapakah yang berada di Tanjung Pengharapan itu?
Sama kokohnya, sama pula besarnya makam Syekh itu di Cape Town . Banyak sekali orang-orang beropini tentang makam tersebut. Tapi tak seorang pun berani menggali kuburan ulama besar yang anti kolonial itu untuk memastikan.***gadiza sahgira
